Kata “gambut” diambil dari kosa kata salah satu daerah di Indonesia yaitu
Banjar, Kalimantan Selatan. Di berbagai
daerah lainnya, istilah “gambut” memiliki sebutan tersendiri, misalnya tanah
hitam (Jawa), tanah rawang atau tanah
payo (Riau dan Jambi), dan sepuk (Kalimantan Barat). Sementara
dalam bahasa Inggris, disebut dengan peat.
Dalam ruang lingkup pengertiannya, banyak pandangan dari berbagai tokoh ataupun
lembaga yang menjelaskan tentang istilah “gambut” ini.
Menurut Bambang
Setiadi, seorang peneliti utama dalam bidang gambut di BPPT (Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi), mengutarakan bahwa gambut merupakan suatu lapisan
kerak bumi, yang sebagian besar terdiri atas bahan organik, dan umumnya berada
di daerah payau. Kondisinya jenuh air dan merupakan hasil dekomposisi yang belum
sempurna dari bahan tanaman yang terjadi secara anaerob (Setiadi, 2011). Secara
umum, gambut terbentuk melalui timbunan bahan organik, yang sebagian telah
melapuk atau terdekomposisi dalam lingkungan yang jenuh air, dengan ketebalan
organik minimal 50 cm (Wahyunto, 2015).
Berdasarkan data yang
dihimpun oleh Tropical Peat Research
Laboratory pada tahun 2016, jumlah luas lahan gambut di Indonesia berada pada
angka 11,5 juta hektar. Jumlah ini merepresentasikan bahwasanya 60% lahan
gambut tropis berada di Indonesia dan merupakan yang terbesar di kawasan Asia
Tenggara. Walaupun demikian, dengan luas lahan gambut yang dimiliki Indonesia
ini ternyata juga berbanding lurus dengan tingginya angka kebakaran lahan
gambut yang terjadi.
Sejarah mencatat,
puncak terjadinya kebakaran lahan gambut berada pada tahun 2015. Di tahun
tersebut, sejumlah lahan gambut seluas 267.974 hektar di Pulau Sumatera dan
Kalimantan telah hangus terbakar (BNBP, 2015). Kebakaran ini pantas disebut
sebagai tragedi nasional karena dampaknya yang begitu menyakitkan bangsa. Tak
hanya asapnya yang mengganggu kesehatan masyarakat hingga sampai ke negara tetangga,
namun juga mengancam kelestarian flora dan fauna yang ada. Bahkan tragedi ini juga
menghambat akses kepentingan vital seperti pendidikan dan penerbangan hingga merugikan
finansial negara sebesar 220 triliun rupiah.
Jika dianalisis
penyebabnya, ada beberapa faktor yang menjadi pemicu dari adanya tragedi ini.
Perilaku masyarakat yang membakar lahan gambut secara sengaja menjadi faktor
yang harus turut diperhatikan. Mereka berdalih melakukan hal tersebut agar
dapat diubah menjadi lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian mereka. Masyarakat
menanami lahan gambut yang telah dibakar dengan berbagai tanaman pertanian
hanya demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Apabila hal ini terus
dibiarkan tanpa adanya upaya penanganan tentu akan membuat eksistensi lahan
gambut semakin berkurang jumlahnya. Padahal masyarakat seharusnya tidak boleh
menutup mata bahwa keberadaan lahan gambut juga menjadi sebuah ekosistem bagi
organisme yang ada di dalamnya. Untuk itu, diperlukan solusi yang tepat agar
mampu menjawab permasalahan ini.
Faktanya, dalam upaya
mengembalikan jumlah lahan gambut di Indonesia, pemerintah telah melakukan
upaya yang disebut dengan restorasi. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk
kepedulian dan tanggung jawab pemerintah untuk mengembalikan fungsi dari lahan
gambut yang semestinya. Dalam upaya merestorasi lahan gambut, pemerintah
menggunakan pendekatan 3R: rewetting, revegetasi,
dan revitalisasi.
Namun restorasi agaknya
hanya akan menjadi hal yang sia-sia jika pemerintah hanya melakukan hal
demikian tanpa adanya perubahan mindset dari masyarakat sekitar kawasan lahan
gambut. Maknanya, restorasi tidak hanya berhenti pada pulihnya ekologi dan
penanaman ulang namun juga harus mampu menciptakan sumber mata pencaharian baru
bagi masyarakat sekitar kawasan lahan gambut. Hal ini dilakukan agar masyarakat
tersebut tidak melakukan hal yang serupa untuk mengubah lahan gambut menjadi
lahan pertanian sebagai sumber penghasilan kehidupan.
Dalam upaya
menciptakan sumber mata pencaharian baru bagi masyarakat, tentu pemerintah
harus dapat mengambil tindakan agar masyarakat tetap dapat mengambil keuntungan
dari adanya lahan gambut. Salah satu upaya yang dapat dipilih dan diaplikasikan
oleh pemerintah adalah dengan menjadikan lahan gambut sebagai peluang
pariwisata yang menjanjikan. Peluang tersebut dapat diwujudkan melalui konsep
ekowisata. Yaitu sebuah wisata yang menggabungkan berbagai aspek seperti
lingkungan, pemberdayaan, dan pembelajaran.
Konsep ekowisata
seakan menjadi hal yang tepat untuk menambah daya guna nilai dari adanya
kawasan lahan gambut. Karena nantinya, ekowisata ini akan memiliki berbagai
manfaat yang sangat menguntungkan. Berbagai manfaat tersebut tidak hanya
terletak pada upaya pelestarian ekosistem lahan gambut namun juga menjadi
tempat pembelajaran bagi para wisatawan akan pentingnya menjaga lahan gambut
dengan berbagai organisme di dalamnya. Bahkan hal ini juga mampu menjadi sumber
mata pencaharian baru bagi masyarakat sekitar kawasan lahan apabila pemerintah
mau menggandeng mereka dalam upaya pengelolaannya.
Terdapat
berbagai alternatif yang dapat dipilih oleh masyarakat dalam upaya turut ikut
ke dalam pengelolaan ekowisata sebagai sebuah mata pencaharian mereka yang
baru. Salah satunya adalah dengan menjadi pemandu bagi para wisatawan. Hal ini
dikarenakan masyarakat sekitar dinilai lebih tahu akan seluk beluk kawasan
lahan gambut yang akan dilewati nantinya. Namun untuk menjadi seorang pemandu
tidak hanya sebatas memberikan pengarahan terhadap rute atau jalur saja,
melainkan juga diharapkan mampu memberikan pembelajaran kepada wisatawan tentang
keanekaragaman hayati dan pentingnya akan menjaga ekosistem lahan gambut. Hal
ini sesuai dengan konsep dari adanya ekowisata itu sendiri yaitu tentang adanya
aspek pembelajaran.
Selain
menjadi pemandu, masyarakat juga dapat membuka berbagai macam kios atau warung
yang menjual berbagai jenis makanan dan kerajinan khas dari budaya lokal. Tak
hanya itu, masyarakat juga dapat membuka penginapan sebagai sebuah singgahan
sementara bagi wisatawan yang ingin bermalam di sekitar kawasan lahan gambut. Bahkan
masyarakat juga dapat menyewakan perahunya apabila wisatawan melalui rute
berupa perairan.
Apabila perwujudan
ekowisata lahan gambut ini benar-benar teraplikasikan oleh pemerintah maka hal
ini menjadi tindakan yang begitu mulia. Karena sejatinya, konsep ekowisata
lahan gambut ini merupakan pintu penyelesaian terbaik karena mampu memberikan
penghidupan bagi masyarakat sekitar tanpa harus merusak lahan gambut. Sehingga
eksistensi lahan gambut akan tetap terjaga kelestariannya.
Untuk dapat menciptakan
ekowisata lahan gambut, setidaknya ada 3 pendekatan yang harus benar-benar siap
dilakukan oleh pemerintah. Ketiga pendekatan ini diharapkan nantinya dapat menjadi
kunci sukses dalam mewujudkan upaya yang baik ini. Ketiga pendekatan tersebut adalah:
Pertama, sosialisasi.
Langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah pertama kali adalah dengan
memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui sosialisasi. Kegiatan ini
dilakukan agar mindset masyarakat terhadap lahan gambut yang hanya sebatas menjadi
lahan pertanian di pikiran mereka dapat berubah. Bahwasanya lahan gambut yang
ada juga dapat dijadikan sebagai peluang bisnis yang menjanjikan melalui
ekowisata. Dalam hal ini, pemerintah juga mengajak masyarakat untuk ikut
bekerja sama dalam upaya pengelolaan ekowisata sehingga dapat menjadi mata
pencaharian baru bagi masyarakat.
Kedua, eksekusi.
Setelah masyarakat telah mendapat stigma baru, langkah selanjutnya adalah
dengan mengeksekusi terwujudnya ekowisata lahan gambut. Dalam hal ini,
pemerintah membangun berbagai macam sarana infrastruktur yang dibutuhkan dalam
menunjang kelangsungan tempat ekowisata nantinya. Tak dapat dipungkiri, dalam
eksekusi nantinya akan dibutuhkan modal yang sangat besar. Untuk menyiasati hal
ini, pemerintah dapat menggandeng perusahaan di sekitar kawasan lahan gambut
untuk meminta modal sebagai bentuk CSR (Corporate
Social Responsibility) dari mereka.
Ketiga, promosi.
Setelah melakukan pembangunan dalam upaya mewujudkan ekowisata lahan gambut,
langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah promosi. Tindakan ini dilakukan
dengan menyebut ekowisata lahan gambut sebagai bentuk pariwisata alam terbaru
yang ada di Indonesia. Harapannya, dengan promosi ini akan membuat banyak
wisatawan baik lokal maupun asing yang datang berkunjung sehingga mampu
menggerakkan roda perekonomian. Tak hanya bagi masyarakat lokal kawasan lahan
gambut namun juga negara melalui penerimaan devisa.
Melihat dari berbagai
manfaat yang akan didapat dari adanya ekowisata lahan gambut nantinya, semoga
pemerintah benar-benar dapat mempertimbangkan dan mewujudkan hal ini.
Harapannya tentu agar masyarakat tidak kembali membakar lahan gambut untuk
dijadikannya sebagai lahan pertanian. Sudah sepatutnya bagi pemerintah dan
masyarakat untuk terus berkomitmen agar kebakaran lahan gambut di Indonesia
tidak terulang kembali. Karena sejatinya, mencegah kerusakan ekosistem seperti kebakaran
lahan gambut sudah menjadi kewajiban setiap manusia di muka bumi ini.
Daftar Pustaka:
Radjagukguk, Bostang dan
Bambang Setiadi. 1991. Strategi Pemanfatan
Gambut di Indonesia. In Muis Lubis, et al., ed. Pros. Sem.Tanah Gambut untuk
Perluasan Pertanian. Medan: Fakultas Pertanian, Universitas Islam Sumatera
Utara. Hal. 1-13.
Ika, Aprillia. 2016. Ternyata, Luas Lahan Gambut Tropis
Hanya 8 Persen di Seluruh Dunia.
http://ekonomi.kompas.com. Diakses tanggal
19 Juli 2017.
Utama, Abraham. 2015. BNPB:
Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI Jakarta. https://www.cnnindonesia.com.
Diakses tanggal 17 Juli 2017
Wahyunto. 2015. Lahan Gambut di Indonesia: istilah/definisi ,
klarifikasi, luasan, penyebaran dan pemutakhiran data spasial lahan gambut
[Presentasi Power Point]. http://www.cifor.org/.
Diakses tanggal 20 Juli 2017.
http://pantaugambut.id/pelajari .
Diakses tanggal 20 Juli 2017.
*) Tulisan ini diikutkan dalam Kompetisi Menulis #PantauGambut
semoga restorasi gambut berjalan lancar. jgn lupa kunjungan balik ya www.agusdaud.id
BalasHapus